Rilismedia.co Kaltim – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Samarinda dalam sengketa tanah antara Soetiawan Halim dan Tomy Mawengkang menuai kritik tajam. Front Aksi Mahasiswa (FAM) menilai putusan yang memenangkan Tomy Mawengkang dalam perkara No. 84/PDT.G/2024/PN SMR penuh kejanggalan dan menuntut Komisi Yudisial (KY) segera memeriksa hakim yang memimpin sidang.
Dalam aksi unjuk rasa yang digelar Kamis (27/2), FAM mendatangi kantor KY Penghubung Wilayah Kalimantan Timur dan PN Samarinda. Mereka menilai majelis hakim yang diketuai Jemmy Tanjung Utama, S.H., M.H., dengan anggota Nur Salamah, S.H., dan Elin Pujiastuti, S.H., M.H., telah lalai dalam menegakkan keadilan dan kurang cermat dalam menelaah bukti-bukti yang diajukan.
“Kami melihat ada banyak kejanggalan dalam putusan ini. Mulai dari ketidaksesuaian objek sengketa, manipulasi sertifikat tanah, hingga pengabaian fakta yang sebenarnya telah jelas di persidangan,” ujar Nazar, koordinator lapangan aksi.
Salah satu poin yang disorot FAM adalah perubahan status administratif kelurahan dalam objek sengketa. Menurut FAM, klaim Tomy Mawengkang bahwa tanahnya berada di Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, yang kemudian disebut berubah menjadi Kelurahan Air Hitam, Kecamatan Samarinda Ulu, tidak memiliki dasar yang kuat.
Surat resmi dari Kelurahan Samarinda Ulu No. 100/023/400.07 tertanggal 3 Februari 2025 menegaskan bahwa Kelurahan Air Hitam tidak pernah dimekarkan menjadi Kelurahan Sempaja Utara. Fakta ini, menurut FAM, seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi majelis hakim, tetapi malah diabaikan.
Selain itu, FAM menyoroti keputusan hakim yang memenangkan sertifikat tanah milik Tomy Mawengkang dengan nomor HM No. 1044/Kel. Sempaja Utara (26 Juni 1998, diubah menjadi 5 Mei 2015), meskipun sertifikat Soetiawan Halim dengan nomor HM No. 4138/Kel. Air Hitam sudah lebih dahulu terbit pada 15 Februari 1996.
“Mahkamah Agung sudah menetapkan yurisprudensi bahwa dalam kasus sertifikat ganda, yang lebih dulu terbit memiliki kekuatan hukum lebih kuat. Tapi dalam kasus ini, hakim justru memenangkan sertifikat yang terbit belakangan. Ada apa dengan putusan ini?” tegas Nazar.
Soetiawan Halim sendiri menduga majelis hakim telah memanipulasi data dan mengabaikan bukti-bukti yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hukum.
“Hakim seolah menutup mata terhadap fakta bahwa sertifikat saya lebih dulu terbit. Bahkan, mereka mengabaikan peta sentuh tanah yang membuktikan bahwa lokasi tanah saya sesuai dengan data BPN,” ungkap Soetiawan Halim.
FAM Kaltim menuntut KY segera memeriksa hakim Jemmy Tanjung Utama, S.H., M.H., beserta dua anggotanya atas dugaan kelalaian dan ketidakprofesionalan dalam menangani perkara ini. Mereka juga mendesak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur untuk turun tangan menyelidiki potensi keterlibatan mafia tanah dan mafia peradilan dalam kasus ini.
Komisi Yudisial Kaltim, yang menerima langsung perwakilan mahasiswa, menyatakan siap menindaklanjuti laporan ini.
“Kami apresiasi partisipasi mahasiswa dalam mengawasi jalannya hukum. Kami akan menerima laporan dan menganalisisnya, jika ada indikasi pelanggaran kode etik, tentu akan kami teruskan ke KY pusat untuk ditindaklanjuti,” ujar Abdul Ghofur, Asisten Bidang Pemantauan Persidangan KY Kaltim.
Hingga saat ini, Soetiawan Halim telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Samarinda, namun belum mendapatkan respons atas upaya hukum yang ditempuhnya.
Kasus ini semakin mempertegas kekhawatiran masyarakat terhadap ketidakprofesionalan hakim dalam menangani sengketa tanah di Samarinda. FAM menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Hingga berita ini dirilis, proses banding masih berlangsung. Soetiawan Halim berharap agar kasus ini dapat memberinya keadilan atas hak yang semestinya ia dapatkan.