Samarinda, Rilismedia.co — Di balik pagar sebuah panti asuhan yang mestinya menjadi tempat aman dan penuh kasih, seorang anak perempuan berinisial NZ justru membawa luka. Luka yang tak hanya nampak di tubuh, tapi juga membekas dalam batin. Kini, suaranya yang sempat tenggelam mulai didengar.
Kasus dugaan kekerasan dan penelantaran terhadap NZ di lingkungan Yayasan Rumah Lansia dan Yatim Piatu FJDK di Samarinda, memicu gelombang keprihatinan. Keluarga korban yang tak lagi sanggup diam, membawa cerita ini ke ruang publik hingga akhirnya sampai ke meja parlemen.
Komisi IV DPRD Kota Samarinda merespons cepat. Mereka menggelar rapat dengar pendapat (hearing) lintas instansi pada Rabu (2/7/2025), menghadirkan Dinas Sosial, DP2PA, UPTD Perlindungan Anak, hingga pihak yayasan yang menjadi sorotan.
Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, menyesalkan lambannya respons dari lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan anak.
“Yang paling utama sekarang adalah kondisi kesehatan anak. Tapi kenyataannya justru terhambat oleh lambannya proses administrasi dan koordinasi lintas instansi,” kata Novan, tegas.
Bagi NZ, perjalanan keluar dari panti seharusnya menjadi awal baru. Namun kenyataan berkata lain. Proses visum mandiri sudah dilakukan pihak keluarga sejak 13 Mei, namun hingga kini belum mendapat pengakuan resmi karena laporan kepolisian baru dibuat belakangan.
Kuasa hukum keluarga NZ, Antonius Perada Nama, menyebut penanganan kasus ini masih jauh dari harapan.
“Kami hanya ingin keadilan bagi anak ini. Jika terbukti ada kekerasan dan penelantaran, hukum harus ditegakkan,” ucap Antonius.
“Kami juga akan melaporkan dugaan kelalaian pelayanan publik ke Ombudsman Kaltim,” tambahnya.
Sementara itu, pihak yayasan FJDK membantah telah melakukan kekerasan. Ayu, bendahara yayasan, menyebut kondisi NZ seperti kutu rambut dan infeksi kulit sebagai hal umum yang terjadi di lingkungan panti.
“Kalau satu anak kena kutu atau koreng, biasanya cepat menyebar ke anak lain. Itu bukan karena kami lalai,” ujar Ayu.
Ia juga menyatakan bahwa yayasan telah berupaya menjalin komunikasi dengan ibu kandung NZ, meski belakangan diketahui alamat yang diberikan keluarga tidak sesuai.
“Kami diberi tahu ibunya tinggal di Sungai Kunjang, padahal ternyata tinggal di Jalan Wahab Sjahranie, dekat dari panti. Kami merasa informasi ini ditutupi selama lebih dari setahun,” katanya.
Ayu menjelaskan bahwa NZ memiliki riwayat tantrum dan epilepsi, namun selama berada di panti, tidak pernah ditemukan kondisi parah seperti yang dilaporkan setelahnya.
“Kalau anak demam sedikit saja, kami langsung bawa ke dokter. Tidak pernah terjadi hal seperti kencing darah saat ia masih di sini,” ucap Ayu.
Namun pernyataan itu tak cukup menghapus pertanyaan besar: mengapa seorang anak yang seharusnya dilindungi justru tampak memikul beban luka yang tak seharusnya dia alami?
Kini, bukan hanya yayasan yang menghadapi tekanan. Kepercayaan publik terhadap sistem perlindungan anak juga tengah diuji. Beberapa donatur diketahui menarik dukungannya dari yayasan, sementara masyarakat terus menuntut transparansi dan keadilan.
Kasus NZ bukan sekadar soal prosedur yang dilanggar atau miskomunikasi antarinstansi. Ini tentang seorang anak yang hak-haknya mungkin diabaikan, tentang rasa aman yang hilang, dan tentang tanggung jawab negara melindungi yang paling rentan di antara kita.
DPRD dan pemerintah daerah kini dihadapkan pada tugas penting: menjawab jerit sunyi NZ dan memastikan tak ada lagi anak lain yang terluka dalam diam. (adv/syf)