Rilismedia.co – Jakarta. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah masih akan mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai penopang utama sistem kelistrikan nasional setidaknya dalam satu dekade ke depan.
Pernyataan ini disampaikan Bahlil dalam acara Mandiri Investment Forum 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (11/2) kemarin.
Menurut Bahlil, PLTU batu bara masih menjadi sumber energi yang paling ekonomis untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri.
“Kita pikir batu bara sudah selesai, eh ternyata masih bernyawa lagi. Jujur, harga batu bara jauh lebih murah dibandingkan sumber energi lainnya,” ujar Bahlil di hadapan para investor dan pelaku industri.
Awalnya, pemerintah berencana mengurangi porsi PLTU dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Namun, Bahlil mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut akan disesuaikan.
“Tadinya dalam RUPTL 2025-2034, saya tidak lagi menyusun batu bara, atau kalaupun ada, tidak lebih dari 7 persen, itu pun yang sudah berkontrak. Tapi situasi global berubah,” jelasnya.
Bahlil juga mengajak para pengusaha batu bara untuk tetap berinvestasi di dalam negeri. Ia meyakinkan bahwa PLTU masih akan menjadi bagian penting dari sistem kelistrikan nasional.
“Yakinlah, bagi pemain batu bara, silakan investasi. Tidak apa-apa, masih bagus kok,” ujarnya.
Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa komitmen pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 tetap berjalan.
“Kami tetap berkomitmen pada NZE, tapi transisi energi membutuhkan waktu. PLTU masih diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan listrik,” tambahnya.
Perubahan kebijakan ini juga dipengaruhi oleh dinamika global, terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Trump memutuskan untuk menarik AS dari Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang berdampak pada kebijakan energi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Dengan keluarnya AS dari Paris Agreement, ya wajar jika kebijakan kita juga menyesuaikan. AS saja yang membuat perjanjian itu keluar, apalagi Indonesia yang hanya ikut,” pungkas Bahlil.
Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kepastian bagi investor di sektor energi, sekaligus menjaga stabilitas pasokan listrik nasional selama masa transisi menuju energi bersih.