Rilismedia.co Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa Indonesia tengah menyiapkan regulasi terkait pelaksanaan hukuman mati. Langkah ini diambil untuk menyesuaikan dengan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2026.
“Kita masih sedang menyiapkan undang-undang pelaksanaan hukuman mati itu sesuai dengan perubahan KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026,” ujar Yusril dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Selasa (25/2).
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, perubahan yang diatur dalam Pasal 100 menyebutkan bahwa pidana mati kini dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun. Jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta ada harapan untuk perbaikan diri, hukuman mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika terpidana tidak menunjukkan perubahan positif, hukuman mati dapat tetap dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Reformasi Hukuman Mati di Malaysia
Dalam kesempatan tersebut, Yusril juga menyinggung reformasi hukum di Malaysia yang telah mengubah sistem hukuman mati di negara tersebut. Menurutnya, Malaysia telah memberi kesempatan bagi narapidana yang dijatuhi hukuman mati untuk mengajukan banding di Mahkamah Persekutuan guna mengubah hukuman mereka menjadi penjara seumur hidup.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri Malaysia, Saifuddin Nasution Ismail, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut. Ia menjelaskan bahwa reformasi hukum di Malaysia memungkinkan terpidana mati untuk mengajukan permohonan perubahan hukuman di Mahkamah Federal.
“Baru-baru ini, Pemerintah Malaysia melakukan reformasi undang-undang. Mereka yang telah dijatuhi hukuman mati boleh mengajukan banding di Mahkamah Persekutuan untuk meminta perubahan hukuman dari hukuman gantung menjadi penjara seumur hidup,” ungkap Saifuddin.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa dari 70 warga negara Indonesia (WNI) yang divonis mati di Malaysia, sebanyak 68 orang telah mendapatkan pengurangan hukuman menjadi penjara seumur hidup. Sedangkan dua orang lainnya masih menunggu keputusan lebih lanjut.
Diskusi Pertukaran Narapidana Indonesia-Malaysia
Selain membahas hukuman mati, Yusril dan Saifuddin juga mendiskusikan kemungkinan pertukaran narapidana antara Indonesia dan Malaysia. Meski hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur hal tersebut, kedua negara sepakat untuk segera membentuk kelompok kerja guna merumuskan mekanisme pertukaran atau pemindahan narapidana.
Yusril menyebutkan bahwa upaya ini bisa dilakukan dengan kesepakatan bilateral tanpa harus menunggu perjanjian formal yang ditandatangani kedua negara.
“Saya yakin, seperti kita membuat practical arrangement dengan negara lain, hal serupa bisa dilakukan dengan Malaysia sehingga pemulangan atau pertukaran narapidana dapat segera terlaksana,” ujar Yusril.
Namun, Saifuddin menegaskan bahwa untuk melaksanakan pertukaran narapidana secara penuh, kedua negara perlu memiliki perjanjian internasional mengenai transfer narapidana (International Transfer of Prisoners/ITOP). Saat ini, Malaysia dan Indonesia belum menandatangani perjanjian tersebut.
Kendati demikian, Saifuddin menambahkan bahwa kedua negara dapat mencari skema lain, seperti membentuk kelompok kerja, sebagai langkah awal dalam merealisasikan pemindahan narapidana antara Indonesia dan Malaysia.
“Itu bisa saja dilaksanakan tanpa perlu perjanjian formal, asalkan ada kesepakatan bersama, sebagaimana hasil pertemuan kami hari ini,” pungkasnya.