Samarinda, Rilismedia.co – Kisruh lahan milik Pemerintah Kota Samarinda di Jalan Hasanuddin, RT 17, Samarinda Seberang, dinilai sebagai cerminan lemahnya tata kelola aset daerah. Mandeknya pembahasan Peraturan Daerah (Perda) tentang Inventarisasi Aset diduga menjadi salah satu faktor utama persoalan tumpang tindih lahan yang kerap berulang.
Rencana pemerintah membangun insinerator di atas lahan tersebut memicu penolakan warga yang sudah menempatinya selama puluhan tahun. Meski tercatat sebagai aset pemerintah, lahan itu telah berkembang menjadi permukiman, dengan sebagian warga meyakini bahwa tanah tersebut adalah milik pribadi atau warisan keluarga.
Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Samri Saputra, menilai persoalan seperti ini dapat dicegah jika inventarisasi aset dilakukan secara rapi dan berkelanjutan. Ia menyoroti minimnya pengamanan fisik dan administrasi terhadap aset pemerintah.
“Yaitu pemerintah harus mulai dari sekarang ini sudah jaga baik-baik itu. Ada aset negara dipagar atau ada semacam pengawasan ketika itu mulai dikuasai oleh masyarakat,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (14/8/2025).
Samri mengungkap, banyak sengketa lahan bermula dari kelonggaran di masa lalu, ketika pemerintah mengizinkan warga memanfaatkan lahan tanpa pencatatan resmi. Permasalahan baru muncul belasan tahun kemudian, saat generasi penerus penghuni menganggap lahan itu sebagai hak milik keluarga.
“oke, orang pertama kita pinjamin dia ngakui ini bukan lahan kita. Tapi ketika nanti anaknya… akhirnya dia sudah ngakui ini tanahnya orangtuaku. Bahkan cucunya ini tanah kakekku,” jelasnya.
Perda Inventarisasi Aset sebenarnya pernah dibahas pada periode DPRD sebelumnya, namun hingga kini belum jelas statusnya.
“Kalau nggak salah, di produsen sebelumnya itu sudah ada membahas perda tentang aset itu. Cuma saya belum tahu kabarnya itu. Manti akan kita cari informasi dari rekan-rekan kami yang terdahulu, sudah sampai mana itu, apakah sudah disahkan atau tidak,” kata Samri.
Kasus Hasanuddin bukan satu-satunya. Sejumlah lahan pemerintah di Samarinda juga pernah bermasalah karena lemahnya pengawasan dan tumpang tindih klaim, antara lain:
• Kawasan Pasar Segiri, di mana ruko milik pemerintah berpindah tangan layaknya milik pribadi.
• Lahan eks relokasi korban kebakaran di Samarinda Ilir, yang kini dihuni warga tanpa kejelasan status.
• Aset jalan di Samarinda Seberang, yang sulit dibebaskan karena permintaan harga warga tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Samri menegaskan, tanpa regulasi dan database aset yang kuat, potensi konflik serupa akan terus muncul.
“Ketegasan pemerintah harus tegas. Daripada kemudian masalah seperti sekarang ini,” katanya.
Pemerintah Kota Samarinda saat ini menawarkan relokasi bagi warga Hasanuddin dengan dana kerahiman Rp9 juta per kepala keluarga. Namun, sebagian warga menilai jumlah itu terlalu kecil dan meminta pemerintah mencari lahan pengganti yang tidak berpenghuni.
DPRD berencana menelusuri kembali pembahasan Perda Inventarisasi Aset untuk memastikan regulasi tersebut dapat segera diberlakukan. Harapannya, ke depan setiap aset pemerintah tercatat, terjaga, dan tidak lagi menjadi sumber sengketa berkepanjangan.