Samarinda, Rilismedia.co – Predikat Kota Layak Anak (KLA) yang disematkan kepada Samarinda dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menyebut masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya adalah tingginya angka pernikahan usia dini yang terjadi secara sembunyi-sembunyi.
Menurut Puji, predikat KLA bukan sekadar capaian administratif atau simbolik. Ia menilai keberhasilan program ini bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat serta keberpihakan nyata pemerintah terhadap hak-hak anak.
“Pemerintah memang punya program dan target. Tapi kalau masyarakat tidak dilibatkan, ini akan jadi program seremonial semata. Anak-anak tetap tidak terlindungi,” ujarnya, Selasa 17/6.
Nikah Dini & Penghulu Liar Jadi Masalah Kronis
Puji mengungkapkan praktik pernikahan dini yang dimediasi oleh penghulu liar masih banyak ditemukan di Samarinda. Ia menyebut kondisi ini berbahaya karena merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai tahapan usia.
“Anak-anak yang menikah dini cenderung putus sekolah. Bagaimana mau mencapai wajib belajar 12 tahun jika pernikahan dini masih dilegalkan secara diam-diam?” tegasnya.
Menurut Puji, minimnya pemahaman sebagian orang tua tentang pentingnya pendidikan jangka panjang turut memperburuk situasi. Banyak yang menganggap cukup jika anak bisa membaca dan menulis, tanpa melihat dampak jangka panjang dari minimnya akses pendidikan.
“Wawasan masyarakat kita masih perlu diperluas soal pentingnya pendidikan jangka panjang,” tambah politisi Partai Demokrat ini.
Infrastruktur KLA Masih Belum Merata
Selain soal pernikahan dini, Puji juga menyoroti belum meratanya fasilitas publik ramah anak, seperti taman bermain, pojok baca, dan layanan konseling remaja di tingkat kelurahan.
“Jangan sampai kita bangga kota kita disebut layak anak, tapi di dalam kampung-kampung, anak masih bekerja, menikah dini, atau tidak sekolah,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pembangunan KLA adalah tugas lintas sektor, bukan hanya tanggung jawab Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peran aktif dari Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, serta aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan kota yang benar-benar ramah anak.
“Harus ada efek jera. Kalau tidak, ini akan terus berlangsung secara senyap,” katanya, merujuk pada praktik penghulu liar yang terlibat dalam pernikahan dini.
Apresiasi Program, Dorong Perluasan Cakupan
Di sisi lain, Puji mengapresiasi sejumlah inisiatif pemerintah kota seperti Kartu Identitas Anak (KIA), internet sehat untuk pelajar, hingga ruang ramah anak di fasilitas publik. Namun, ia menilai capaian itu masih perlu diperluas agar manfaatnya dirasakan secara merata di seluruh wilayah kota.
Ia menekankan bahwa KLA bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang perubahan pola pikir, budaya, dan sistem sosial yang berpihak pada anak.
“KLA itu bukan papan nama. Tapi bagaimana kota ini bisa sungguh-sungguh jadi tempat tumbuh yang aman dan nyaman bagi anak,” katanya.
Menurutnya, anak yang sehat, cerdas, dan terlindungi adalah modal penting bagi pembangunan kota di masa depan. Namun jika sejak kecil mereka sudah kehilangan hak dasarnya, maka kerugian jangka panjang akan dirasakan oleh seluruh masyarakat.
“Anak yang sehat dan terlindungi akan jadi modal pembangunan ke depan. Tapi kalau masa kecil mereka sudah diambil oleh pernikahan dan putus sekolah, kita semua yang rugi,” tutup Puji. (adv/syf)