Samarinda, Rilismedia.co – Rencana pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di Kota Samarinda yang merupakan bagian dari program nasional pendidikan untuk keluarga berpenghasilan rendah menuai kritik tajam dari kalangan legislatif.
Salah satunya datang dari Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Anhar, yang menyebut program ini berpotensi menciptakan stigma baru bagi masyarakat dan mencerminkan kegagalan negara dalam mengatasi kemiskinan ekstrem.
“Ini kontradiktif. Kriteria penerimaan murid justru berdasarkan ketidakmampuan finansial. Paradigma yang muncul, seolah kota ini belum lepas dari jeratan kemiskinan ekstrem,” ujar Anhar saat ditemui di Gedung DPRD Samarinda, Selasa 17/6.
Anhar menilai bahwa ditetapkannya Samarinda sebagai salah satu dari 65 titik lokasi pembangunan SR se-Indonesia bukanlah capaian yang patut dibanggakan, melainkan indikator bahwa ketimpangan sosial dan akses pendidikan masih menjadi persoalan serius di kota ini.
“Kalau suatu kota ditetapkan sebagai lokasi pembangunan Sekolah Rakyat, berarti secara tidak langsung pemerintah mengakui bahwa wilayah itu belum bebas dari kemiskinan ekstrem. Ini harusnya jadi alarm, bukan dijadikan kebanggaan,” tegasnya.
Sindir Program Pusat, Bandingkan dengan Kebijakan Pemprov
Dalam pernyataannya, politisi PDI Perjuangan ini juga menyindir pendekatan pemerintah pusat yang dinilai eksplisit menyasar kelompok miskin, alih-alih menciptakan sistem pendidikan inklusif yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Ia membandingkan program SR dengan program GratisPol milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Menurutnya, program pendidikan gratis tanpa syarat itu jauh lebih adil, karena tidak melabeli siswa berdasarkan latar belakang ekonomi.
“Program Gubernur Kaltim itu menyentuh semua kalangan. Siapa saja boleh sekolah tanpa perlu embel-embel ‘miskin’. Ini jauh lebih adil dan tidak melabeli siswa berdasarkan status ekonomi,” ucap Anhar.
Dana Sekolah Rakyat Dinilai Tidak Efisien, Rawan Penyimpangan
Anhar juga mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran dalam program SR, terutama dalam pembangunan fisik sekolah baru. Menurutnya, lebih baik dana ratusan miliar rupiah dialihkan menjadi beasiswa langsung kepada siswa, yang dinilai lebih efisien dan minim risiko korupsi.
“Daripada bangun sekolah baru tapi segmentasinya jelas-jelas terbatas, lebih baik anggaran itu jadi beasiswa. Dana bisa langsung diterima siswa, tidak rawan penyimpangan,” ujarnya.
Ia menambahkan, proyek pembangunan fisik kerap menjadi celah terjadinya penyalahgunaan anggaran, berbeda dengan skema bantuan tunai yang lebih transparan.
“Kalau bicara soal bangunan, fisik, dan sebagainya, itu sudah rawan. Tapi kalau beasiswa, misalnya Rp25 juta, ya sebesar itu juga yang diterima siswa. Hampir tak ada celah untuk dikorupsi,” katanya lagi.
Peringatan Keras: Ini Bukan Prestasi
Lebih jauh, Anhar menegaskan bahwa pembangunan Sekolah Rakyat di Samarinda seharusnya menjadi bahan evaluasi mendalam, bukan alat klaim keberhasilan politik.
“Ini bukan prestasi. Kita seharusnya malu. Di satu sisi, kita gembar-gembor soal pendidikan berkualitas, tapi di sisi lain masih butuh sekolah untuk masyarakat miskin. Ini menandakan sistem pendidikan kita masih pincang,” tegasnya.
Anhar menutup pernyataannya dengan mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang pendekatan kebijakan pendidikan, agar lebih menyatukan seluruh warga negara, bukan malah membuat batas berdasarkan status ekonomi.
“Kita ingin sekolah yang menyamaratakan, bukan malah membeda-bedakan. Pendidikan itu hak semua warga, bukan program charity,” pungkasnya. (adv/syf)