Komisi IV DPRD Samarinda Gelar Hearing Terkait Dugaan Kekerasan di Panti Asuhan

Samarinda, Rilismedia.co – Dugaan kasus kekerasan dan penelantaran terhadap anak perempuan berinisial NZ yang tinggal di Yayasan Rumah Lansia dan Yatim Piatu FJDK, Kota Samarinda, mendapat perhatian serius dari DPRD Kota Samarinda. Komisi IV DPRD pun menggelar rapat dengar pendapat (hearing) lintas instansi guna mengusut tuntas kasus ini.

Kasus NZ mencuat ke publik setelah pihak keluarga melaporkan kondisi korban dan mengunggah dokumentasinya ke media massa. Sorotan publik pun meluas hingga ke lembaga legislatif yang berkantor di Jalan Basuki Rahmat itu.

Bacaan Lainnya

Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, menekankan bahwa prioritas saat ini adalah pemulihan fisik dan psikis korban. Ia menyayangkan lambannya respons dari instansi terkait.

“Yang paling utama sekarang adalah kondisi kesehatan anak. Tapi kenyataannya justru terhambat oleh lambannya proses administrasi dan koordinasi lintas instansi,” ujarnya dalam rapat hearing, Rabu (2/7).

Rapat tersebut menghadirkan perwakilan dari Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA), serta UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Samarinda.

Dari pihak Dinas Sosial, Irwan Kartomo selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, menyayangkan pengambilan NZ dari panti yang menurutnya tidak sesuai prosedur.

“Pengambilan anak tidak bisa sembarangan. Harus melalui prosedur yang jelas. Ini bukan sekadar soal adopsi atau niat baik,” tegas Irwan, merujuk pada mekanisme Calon Orang Tua Asuh (COTA) yang semestinya ditempuh.

Sementara itu, dari pihak Yayasan FJDK, Ayu selaku bendahara yayasan membantah tuduhan adanya kekerasan fisik terhadap NZ. Ia menyebut kondisi seperti infeksi kulit dan kutu rambut sebagai hal yang umum terjadi di lingkungan tertutup seperti panti asuhan.

“Kalau satu anak kena kutu atau koreng, biasanya cepat menyebar ke anak lain. Itu bukan karena kami lalai,” katanya.

Ayu juga menyangkal adanya unsur pembiaran. Menurutnya, pihak yayasan rutin memberikan informasi kepada ibu kandung NZ, namun belakangan diketahui bahwa alamat yang diberikan tidak sesuai.

“Kami diberi tahu ibunya tinggal di Sungai Kunjang, padahal ternyata tinggal di Jalan Wahab Sjahranie, dekat sekali dari panti. Kami merasa informasi ini ditutupi selama lebih dari setahun,” ungkap Ayu.

Ia juga menjelaskan bahwa NZ memiliki riwayat tantrum dan epilepsi, namun selama berada di panti, tidak pernah ditemukan kondisi medis serius seperti yang belakangan diberitakan.

“Kalau anak demam sedikit saja, kami langsung bawa ke dokter. Tidak pernah terjadi hal seperti kencing darah saat ia masih di sini,” tambahnya.

Yayasan FJDK juga mengaku terdampak secara langsung oleh pemberitaan kasus ini. Ayu menyebut beberapa donatur memilih menarik dukungan karena citra yayasan yang menurun di mata publik.

“Kami yayasan swasta, tidak dibiayai pemerintah. Operasional kami murni dari donatur. Sekarang kepercayaan publik terganggu,” ujarnya.

Di sisi lain, kuasa hukum keluarga NZ, Antonius Perada Nama, menyoroti lambannya proses hukum dalam kasus ini. Ia menyebut hasil visum mandiri yang dilakukan sejak 13 Mei belum diakui secara resmi karena laporan polisi dibuat setelahnya.

“Visum mandiri sudah kami lakukan sejak 13 Mei. Tapi belum juga diakui secara hukum karena laporan ke polisi baru dibuat setelahnya. Sampai sekarang hasil resmi visum juga belum keluar,” kata Antonius.

Pihaknya berencana melaporkan dugaan kelalaian pelayanan publik ke Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Timur.

“Kami hanya ingin keadilan bagi anak ini. Jika terbukti ada kekerasan dan penelantaran, hukum harus ditegakkan,” tegasnya.

Kasus NZ menjadi refleksi buram sistem perlindungan anak di Samarinda. Di balik tembok sebuah yayasan yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru muncul dugaan kelalaian dan pengabaian yang memprihatinkan. Komunikasi antarinstansi yang tidak sinkron dan prosedur yang tumpang tindih menjadi catatan penting yang harus segera dibenahi.

Kini, publik menanti langkah tegas dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan seluruh pemangku kepentingan agar peristiwa serupa tidak terulang. Karena setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman, layak, dan penuh kasih sayang. (adv/syf)

Pos terkait