Akademisi Hukum Ingatkan DPR untuk Cermat dalam Pembahasan RUU KUHAP

Rilismeda.co – Para akademisi hukum menekankan pentingnya kehati-hatian bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Mereka menyoroti beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan agar revisi tersebut dapat memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia.

Muhammad Rustamaji, pengamat hukum pidana dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menyoroti kemungkinan penghapusan tahap penyelidikan dalam RUU KUHAP. Menurutnya, jika setiap laporan pidana langsung ditindaklanjuti dengan penyidikan tanpa didahului penyelidikan, hal ini dapat menyebabkan masyarakat menjadi terlalu bergantung pada jalur hukum untuk menyelesaikan setiap permasalahan.

Bacaan Lainnya

“Masyarakat yang suka membawa seluruh permasalahan ke jalur hukum sehingga mengakibatkan ‘addictive to law’,” ujarnya.

Selain itu, hal ini berpotensi menimbulkan kelebihan perkara dalam tahap penyidikan, mengingat rasio jumlah penyidik dengan laporan masyarakat yang tidak seimbang.

Sementara itu, Radian Salman, ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, menekankan bahwa RUU KUHAP harus diarahkan pada penguatan penegakan hukum yang mampu mewujudkan keadilan. Ia menegaskan pentingnya prinsip keseimbangan dalam sistem peradilan pidana terpadu.

“Harus ada prinsip keseimbangan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system),” kata Radian di Surabaya.

Ia juga mengingatkan bahwa diferensiasi fungsional antara tugas penyidikan oleh kepolisian dan tugas penuntutan oleh kejaksaan harus tetap dijaga untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di satu lembaga.

Selain itu, Prija Djatmika, ahli hukum dari Universitas Brawijaya, mengkritisi munculnya Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11 dalam RUU KUHAP. Menurutnya, pasal-pasal tersebut berpotensi mengganggu penegakan hukum karena memberikan kewenangan kepada jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan serta penahanan yang dilakukan kepolisian.

“Yang benar yang boleh mengontrol hanya hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan. Jadi, ini Pasal 111 ini mending dihapuskan saja, yang Ayat 2,” kata Prija.

Menanggapi berbagai masukan tersebut, Komisi III DPR RI telah mengusulkan agar RUU KUHAP masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Mereka menargetkan KUHAP yang baru dapat berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026. Proses penyusunan draf dan naskah akademik RUU KUHAP ditargetkan tuntas pada Masa Sidang DPR 21 Januari-20 Maret 2025.

Dengan berbagai masukan dari akademisi dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan RUU KUHAP yang dihasilkan dapat memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia dan mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

banner 400x130

Pos terkait