Rilismedia.co – Samarinda. Aktivitas tambang yang semakin mendekat ke pemukiman di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, kini memicu ancaman serius bagi warga sekitar.
Dengan jarak yang hanya 20 hingga 30 meter dari rumah-rumah warga, dampak negatifnya begitu nyata yaitu kebisingan tanpa henti, polusi debu yang membahayakan kesehatan, dan ancaman longsor yang kian mengintai.
Sejak dua bulan lalu, salah satu perusahaan tambang besar di wilayah itu membuka lahan pertambangan baru tanpa pemberitahuan atau diskusi apapun dengan warga.
Salah seorang warga yang enggan disebut namanya yang tinggal tepat di dekat tambang mengaku sering terbangun tengah malam akibat suara bising alat berat.
“Setiap malam, suara mesin itu terus beroperasi, bahkan sampai pagi. Kami merasa seperti tidak punya hak atas kenyamanan di rumah sendiri,” keluhnya.
Selain gangguan tidur, polusi debu dari tambang semakin memperburuk kualitas udara di lingkungan tersebut. Warga mulai mengeluh tentang masalah pernapasan akibat debu yang terus menyebar ke area pemukiman tanpa ada upaya mitigasi dari perusahaan.
Yang lebih mengkhawatirkan, tak ada kompensasi yang layak bagi warga yang terancam dampak dari kegiatan tambang ini. Bahkan, ada yang hanya mendapatkan tali asih sebesar Rp 150 ribu per bulan yang jelas tak sebanding dengan kerugian dan rasa ketidakamanan yang mereka alami.
“Itu sudah termasuk uang debu, bising, dan banjir. Tidak ada jaminan apapun, dan kami hanya bisa pasrah,” ujar Nugraha, seorang paralegal yang mendampingi warga.
Sementara itu, ancaman longsor menjadi mimpi buruk bagi warga yang tinggal di sekitar tambang. Tanah galian yang semakin mendekati rumah mereka, ditambah dengan hujan yang sering turun, membuat mereka hidup dalam ketakutan akan bencana alam.
“Kami khawatir tanah yang terus digali akan longsor dan menimpa rumah kami, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu,” kata Latri, seorang warga paruh baya.
Regulasi yang ada jelas-jelas melarang kegiatan tambang beroperasi terlalu dekat dengan pemukiman. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 menetapkan jarak minimal tambang dari pemukiman adalah 500 meter, dan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 35 Tahun 2017 bahkan lebih ketat, dengan ketentuan jarak minimal 1 kilometer. Namun, di Sanga-Sanga, tambang ini beroperasi jauh lebih dekat dari itu, tanpa izin atau persetujuan warga.
Tindakan perusahaan ini jelas melanggar aturan, namun pemerintah dan pihak berwenang terkesan tutup mata. “Perusahaan ini beroperasi seperti ilegal meski memiliki izin resmi. Mereka tidak meminta persetujuan warga dan bahkan tidak memberi informasi apapun sebelum memulai aktivitas,” tegas Nugraha.
Sementara itu, PT Adimitra Baratama Nusantara (PT ABN), perusahaan yang beroperasi di area tambang, berdalih bahwa mereka sudah melakukan studi kelayakan dan konsultasi dengan masyarakat sebelum proyek dimulai.
Namun, klaim tersebut dipertanyakan oleh warga yang merasa tidak pernah diajak berdiskusi.
“Perusahaan mengatakan sudah berkonsultasi dengan warga, tapi kenyataannya, kami tak pernah diajak bicara. Hanya ada pemberitahuan sepihak setelah mereka mulai menggali tanah,” ungkap Munah.
Perusahaan ini juga mengklaim telah memperhitungkan mitigasi risiko, termasuk potensi longsor. Namun, warga tetap merasa was-was dan tidak yakin akan tindakan nyata dari perusahaan untuk mengatasi masalah ini.
“Kami ingin hidup aman tanpa takut bencana, tetapi apa yang kami hadapi justru kebalikannya: kebisingan, debu, dan ancaman longsor yang terus membayangi,” kata Untung, warga lainnya.
Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, juga gagal bertindak. Mereka tidak memberikan solusi nyata bagi warga yang terperangkap dalam dampak negatif aktivitas tambang.
Jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menegakkan aturan dan mendesak perusahaan untuk bertanggung jawab, kekhawatiran akan longsor dan kerusakan lingkungan lainnya hanya akan semakin parah.
Warga Sanga-Sanga berhak mendapatkan lingkungan yang aman dan sehat, namun saat ini mereka dipaksa untuk bertahan hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi. Mereka mendesak agar pemerintah dan perusahaan segera mencari solusi yang adil dan mengurangi dampak dari aktivitas pertambangan yang sudah merusak kualitas hidup mereka. (syf)