Wacana revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang menimbulkan keresahan, terutama bagi mahasiswa di Kalimantan Timur.
Wilayah ini sudah lama menjadi pusat eksploitasi sumber daya alam, menghadapi berbagai dampak lingkungan yang belum tertangani dengan baik. Jika kampus ikut terlibat dalam bisnis tambang, apakah ini masih sejalan dengan misi pendidikan?
Kampus seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan, bukan korporasi yang berorientasi pada keuntungan. Jika perguruan tinggi mulai mengelola tambang, ada risiko besar bahwa kepentingan akademik akan terpinggirkan oleh kepentingan bisnis.
Alih-alih fokus pada pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi, kampus justru bisa terjebak dalam pusaran ekonomi yang mengaburkan identitas akademiknya.
Dengan dalih kemandirian finansial, kampus bisa terdorong untuk lebih mementingkan keuntungan daripada penelitian yang berpihak pada kepentingan publik. Jika ini terjadi, independensi perguruan tinggi dalam menghasilkan kajian ilmiah yang objektif akan terancam.
Saat ini saja, Kalimantan Timur sudah menghadapi krisis lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali. Ratusan, bahkan ribuan lubang bekas tambang yang tidak direklamasi telah menimbulkan bencana ekologis, merenggut nyawa masyarakat, termasuk anak-anak.
Puluhan korban jiwa telah hilang sia-sia di lubang-lubang tambang yang menganga tanpa pengawasan ketat.
Jika kampus diberi hak untuk mengelola tambang, siapa yang bisa menjamin mereka tidak ikut terlibat dalam praktik eksploitasi serampangan? Kampus yang seharusnya menjadi pelopor solusi lingkungan, malah bisa menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri.
RUU Minerba ini juga membuka celah bagi intervensi politik dan kepentingan oligarki dalam dunia akademik. Ketika perguruan tinggi mulai bergantung pada pendapatan dari industri tambang, ada potensi besar bahwa keputusan akademik akan dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi pihak tertentu.
Kampus bisa kehilangan kebebasannya dalam melakukan riset kritis terhadap dampak industri ekstraktif. Alih-alih menjadi lembaga yang mengawal kebijakan publik berbasis ilmu pengetahuan, kampus bisa berubah menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mengeruk keuntungan dari sumber daya alam kita.
Sebagai mahasiswa Kalimantan Timur, kita harus menyadari bahwa kebijakan ini bisa menjadi ancaman serius bagi independensi perguruan tinggi dan kelestarian lingkungan.
Perguruan tinggi bukan perusahaan tambang. Pendidikan seharusnya tidak dikomersialisasi atas nama eksploitasi sumber daya alam.
Jika RUU Minerba ini disahkan, masa depan lingkungan, dunia akademik, dan prinsip Tridharma Perguruan Tinggi akan berada dalam bahaya. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa harus bersikap tegas dalam menolak wacana ini.
Kampus harus tetap menjadi tempat pengembangan ilmu dan inovasi, bukan ladang bisnis baru bagi kepentingan segelintir orang.
Oleh: Adrian Maulana
Mahasiswa UINSI & Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Kota Samarinda