Multikulturalisme yang Tersirat di Setiap Sajian Tradisional
Samarinda – Kuliner tradisional mencerminkan keberagaman budaya suatu daerah, terdiri dari hidangan dan camilan yang telah lama ada dan dilestarikan di wilayah tersebut. Kuliner tradisional biasanya diwariskan dari generasi ke generasi, dan saat ini, telah menjadi produk dagang di masyarakat.
Saat berkeliling Kota Samarinda, perhatian kami tertuju pada beberapa warung makan tradisional yang terlihat sederhana. Sejenak, kami ingin mengetahui bagaimana makanan tradisional ini mencerminkan multikulturalisme di Kota Samarinda.
Ternyata, saat ini Kota Samarinda dihuni oleh berbagai etnis dan suku. Menurut informasi dari seminar.farmasi.unmul.ac.id, suku terbesar di Kota Samarinda adalah suku Jawa (36,70%), diikuti oleh suku Banjar (24,14%) dan Bugis (14,43%). Selain itu, terdapat suku-suku lain seperti Dayak, Minangkabau, dan Batak. Kedatangan beragam suku dari berbagai daerah telah menciptakan kekayaan budaya kuliner yang unik di Kota Samarinda.
Gado-Gado
Destinasi awal kami mengarah ke warung makan tradisional gado-gado di Taman Cerdas. Pemilik usaha, Karimah (48), telah berjualan di sana sejak tahun 2018. Perempuan paruh baya ini menjelaskan bahwa resep gado-gado yang digunakan merupakan warisan dari ibunya dan juga merupakan kombinasi dari resep-resep otentik Jawa. Meskipun demikian, Karimah menekankan bahwa resep yang ia gunakan tidak sepenuhnya mengikuti preferensi rasa lidah masyarakat Jawa. Sebaliknya, untuk disesuaikan dengan selera lidah masyarakat Kalimantan, Karimah mengubah rasa gado- gado yang biasanya asin menjadi lebih manis.
Terdapat kisah menarik dalam proses pembuatan gado-gado yang Karimah bagikan, termasuk fakta bahwa sebagian besar pembelinya berasal dari Jawa. Selain itu, Karimah sering mendapatkan komentar positif dari masyarakat suku lain yang mencoba gado-gado khasnya.
Terakhir, Karimah memberikan pesan kepada generasi muda untuk terus melestarikan makanan tradisional. Menurutnya, hal ini penting agar makanan tradisional tetap relevan, tidak kalah dengan makanan modern, atau makanan dari luar negeri.
Sate Padang
Perjalanan berikutnya, kami tertuju pada warung Sate Padang di Jalan Gunung Semeru. Ali Sanchez (42), pemilik warung yang ramah, telah berjualan sejak tahun 2016. Selain sate Padang, Ali Sanchez juga menawarkan berbagai masakan Minangkabau seperti soto Padang dan nasi Padang. Namun, sate Padang menjadi favorit pelanggan.
Ali Sanchez menjelaskan bahwa resep pembuatan sate Padang ini buatan pribadi sejak awal berbisnisnya. Pria berusia 42 tahun itu menekankan bahwa resepnya berbeda dari sate Padang umumnya. Secara khusus, Ali mengganti rasa pedas dari merica dengan cabai agar lebih disukai oleh lidah masyarakat Kalimantan Timur.
Selain itu, Ali Sanchez mengungkapkan, “Karena ini makanan Minang, 70% pelanggan di sini berasal dari orang Padang, sisanya dari kalangan Chinese, dan campuran lainnya.”
Terakhir, Ali Sanchez memberikan pesan kepada generasi muda untuk melestarikan makanan tradisional Indonesia. Baginya, makanan tradisional mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Ali juga mendorong generasi muda untuk tidak ragu membuka usaha di bidang kuliner tradisional. Meskipun pengaruh budaya kuliner luar negeri semakin banyak, kuliner tradisional tetap menjanjikan.
Nasi Kuning
Nasi Kuning Ibu Arbayah, sebuah warung makan yang terletak di Jalan KH. Ahmad Dahlan, Kota Samarinda, menawarkan pengalaman kuliner yang menggugah selera. Keberadaannya yang strategis menjadikannya destinasi yang sulit dilewatkan bagi penggemar kuliner tradisional.
Dimulai pada tahun 2008, Nasi Kuning Ibu Arbayah berdiri dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner khas Kota Samarinda. Seiring berjalannya waktu, warung makan ini terus menggoda lidah para pengunjungnya dengan cita rasa nasi kuning yang istimewa. Meskipun telah menghiasi deretan kuliner Kota Samarinda selama bertahun- tahun, Nasi Kuning Ibu Arbayah tidak kehilangan daya tariknya.
Menurut Piyah, penjual di Nasi Kuning Ibu Arbayah, warung makan ini tidak sekadar menyajikan hidangan, melainkan merupakan persembahan untuk menghargai dan menikmati cita rasa kuliner khas Kalimantan, khususnya Samarinda. Dengan keuletan khasnya, Piyah membeberkan rahasia bumbu turun-temurun yang menjadikan setiap hidangan di sini autentik dan tak terlupakan.
Keunikan Nasi Kuning Ibu Arbayah semakin terasa dengan sentuhan manis pada nasi kuningnya, yang disesuaikan dengan selera lidah orang Kalimantan. Dibalik setiap termos berisi nasi kuning, terdapat proses pembuatan yang menarik, mulai dari mengudak nasi hingga meracik santan dengan keahlian khusus.
Kelezatan Nasi Kuning Ibu Arbayah tidak memandang batas suku, melainkan merambah ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk Suku Jawa dan Bugis. Dengan demikian, Nasi Kuning Ibu Arbayah bukan hanya sekadar warung makan, tetapi juga menjadi simbol perpaduan rasa dan keberagaman budaya yang patut dinikmati oleh siapa saja yang mencari pengalaman kuliner istimewa di Kota Samarinda.
Dalam percakapan terakhir, Piyah menyampaikan kekhawatirannya terhadap pengaruh kuliner modern yang masuk ke Indonesia. Beliau menekankan pentingnya menjaga makanan tradisional sebagai bagian dari warisan budaya. Piyah berpendapat bahwa setiap generasi penerus harus turut menjaga dan mempelajari budaya, termasuk dalam konteks kuliner. “Jika bukan kita, generasi penerus, lalu siapa lagi yang akan menjaga keaslian budaya kita?” tegas Piyah.
Oleh karena itu, sebagai generasi penerus, kita diingatkan untuk senantiasa melestarikan dan belajar, agar budaya kita tidak tenggelam di tengah arus modernisasi yang terus berlangsung. Dengan begitu, kuliner tradisional seperti Nasi Kuning Ibu Arbayah dapat tetap menjadi bagian berharga dari identitas dan kekayaan budaya Indonesia.
Coto Makasssar
Destinasi kuliner terakhir ialah Coto Makassar yang berlokasi di Jalan Lambung Mangkurat, Kota Samarinda, telah hadir sejak tahun 2021, menawarkan sentuhan unik dari Sulawesi Selatan yang dipadukan dengan lidah Kalimantan. Rumah makan ini menjadi salah satu opsi menarik bagi pecinta kuliner yang ingin menjajal cita rasa berbeda di tengah keramaian Kota Samarinda.
Coto Makassar tidak hanya berfungsi sebagai tempat makan, melainkan juga sebagai representasi perpaduan cita rasa dari dua daerah yang berbeda. Meskipun baru hadir dalam beberapa tahun terakhir, Coto Makassar mampu menarik perhatian pengunjung dengan menawarkan pengalaman kuliner yang autentik dan berbeda dari yang lain.
Dalam wawancara dengan pemilik Coto Makassar, beliau menegaskan bahwa tujuan kehadiran rumah makan ini adalah untuk memberikan variasi kuliner di Kota Samarinda. Pemilik juga menekankan pentingnya mempertahankan rasa otentik dan keberagaman bumbu tradisional sebagai kunci utama keberhasilan mereka.
Dengan menu yang berfokus pada cita rasa Makassar, terutama coto yang terkenal, Coto Makassar di Jalan Lambung Mangkurat bukan hanya menjadi tempat bagi mereka yang merindukan masakan khas Sulawesi Selatan, tetapi juga menjadi contoh keberagaman kuliner di tengah pusat Kota Samarinda. Melalui kesederhanaan dan autentisitas, Coto Makassar menjadi destinasi yang cocok bagi pencinta kuliner yang ingin mengeksplorasi keanekaragaman cita rasa Indonesia dalam suasana yang santai dan bersahaja.
Dalam jelajah kuliner ini, kita memahami bahwa ragam kuliner tradisional bukan hanya mencerminkan kekayaan cita rasa suatu daerah, tetapi juga menjadi simbol multikulturalisme yang erat terkait dengan identitas budaya Indonesia. Warung makan tradisional seperti gado-gado di Taman Cerdas, sate Padang di Jalan Gunung Semeru, Nasi Kuning Ibu Arbayah, dan Coto Makassar di Jalan Lambung Mangkurat menggambarkan harmoni kuliner yang terbentuk dari perpaduan beragam suku dan etnis di Kota Samarinda.
Para pemilik usaha, seperti Karimah, Ali Sanchez, dan Piyah, memberikan kontribusi besar dalam menjaga keaslian kuliner tradisional. Mereka tidak hanya mengadaptasi resep-resep tradisional sesuai dengan selera lokal, tetapi juga merangkul keberagaman budaya dengan menyajikan hidangan yang dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dalam kesederhanaan kuliner, Kota Samarinda menunjukkan bahwa kuliner tradisional tidak hanya menyatukan lidah masyarakat setempat, tetapi juga menjadi jembatan perpaduan antar-etnis dan suku. Pesan melestarikan budaya dari para pemilik usaha menjadi panggilan kepada generasi muda untuk menjaga keberagaman kuliner Indonesia sebagai bagian integral dari warisan budaya yang kaya dan bernilai.
Artikel ini ditulis oleh: Adetya Rizky dan Achmad Faruq Zidani Abdillah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman,