Redenominasi, Wacana Lama yang Kembali Mencuat di Era Purbaya

JAKARTA — Wacana penyederhanaan mata uang atau redenominasi rupiah kembali mencuat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan agenda tersebut dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui RUU tentang Perubahan Harga Rupiah.

Rencana redenominasi ini bukan hal baru. Sejak 2010, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menggagas kebijakan serupa, namun tertunda karena situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Kali ini, pemerintah menargetkan penyelesaiannya pada periode 2026 hingga 2027.

Bacaan Lainnya

Redenominasi Bukan Sanering, Nilai Rupiah Tetap Sama

Pemerintah menegaskan, redenominasi tidak sama dengan sanering. Kebijakan ini tidak memotong nilai uang, melainkan hanya menyederhanakan jumlah nol tanpa mengubah nilai tukar maupun daya beli masyarakat.

Dengan redenominasi, Rp1.000 menjadi Rp1, dan Rp100.000 menjadi Rp100, tanpa kehilangan nilai ekonominya.

Kebijakan serupa sempat disimulasikan pada 2013, ketika Kemenkeu menampilkan ilustrasi desain uang baru hasil redenominasi. Desain tersebut berbeda, namun mempertahankan warna dasar setiap pecahan. Kala itu, antusiasme publik cukup tinggi, meski rencana tersebut akhirnya tidak berlanjut.

Syarat Utama: Ekonomi Stabil dan Inflasi Terkendali

Menurut laman resmi Bank Indonesia, redenominasi hanya dapat dilakukan saat ekonomi dalam kondisi stabil, inflasi terkendali, dan sistem moneter berjalan sehat. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan menyederhanakan penulisan nilai uang dalam transaksi maupun pembukuan.

Mantan Gubernur BI Darmin Nasution pernah menegaskan masyarakat tidak perlu khawatir.

“Nilai uang terhadap barang atau jasa tidak berubah, hanya penulisannya yang dipermudah,” ujarnya saat sosialisasi redenominasi pada 2013 lalu.

Belajar dari Pengalaman 1965

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi diartikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli, berbeda dengan sanering yang memangkas nilai uang untuk menekan inflasi ekstrem.

Indonesia pernah menjalankan kebijakan serupa pada 13 Desember 1965, ketika Rp1 baru setara Rp1.000 lama. Namun pelaksanaannya yang mendadak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.

Kini, pemerintah berupaya agar hal itu tidak terulang dengan menyiapkan masa transisi dan sosialisasi publik secara bertahap.

“Tujuan utama bukan sekadar menghapus nol, tapi membangun kembali kepercayaan terhadap rupiah,” tegas Kemenkeu dalam dokumen resminya.

Pos terkait