Di era modern yang seharusnya menjunjung tinggi kesetaraan, kenyataannya perempuan dan anak masih sering menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, ruang publik, maupun di lingkungan rumah sendiri. Di balik kemajuan pembangunan di Kalimantan Timur, masih ada sisi gelap yang terus mengancam keselamatan perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim, hingga 30 Juni 2025, tercatat 662 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi ini. Dari total tersebut, 454 korban adalah anak-anak sekitar 63% dari keseluruhan korban. Sebelumnya, meski jumlah kasus turun dari 1.108 di tahun 2023 ke 1.002 di całupan tahun 2024, angka ini tetap mencemaskan. Kota Samarinda menjadi daerah paling rawan, dengan 245 kasus sepanjang 2024 dan sekitar 50 kasus pada awal Maret 2025. Sementara itu, Balikpapan mencatat 127 kasus selama Januari–Juli 2025, termasuk 66 kasus kekerasan seksual, angka yang fenomenal ini memperlihatkan bahwa potensi lonjakan tidak bisa lagi dianggap remeh.
Menurut Ririn Dwi Ramadhani, Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat masih perlu dibangun kesadarannya untuk melawan budaya diam dan stigma terhadap korban. Kita semua memiliki peran penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung para korban. Saat ini, kita harus bergerak lebih dari sekadar menjadi saksi. Kita perlu menjadi agen perubahan yang aktif. Kekerasan seksual dan pelecehan tidak boleh lagi menjadi ancaman yang menakutkan di ruang publik. Menurut Ririn Dwi Ramadhani, setiap individu harus berani bersuara, menegakkan keadilan, dan bersama-sama memastikan perempuan dapat hidup tanpa rasa takut.
Dengan adanya kasus-kasus tersebut Ririn Dwi Ramadhani mendesak pemerintah untuk:
- menegakkan hukum tegas untuk pelaku kekerasan tanpa diskriminasi.
- melakukan edukasi gender dan anti-kekerasan sejak dini di sekolah.
- menyediakan layanan pemulihan korban yang gratis dan mudah diakses.
- membangun sistem pelaporan aman yang melindungi identitas korban.
- menghapus budaya patriarki dan victim blaming yang menyalahkan korban.
- selalu melibatkan perempuan dalam kebijakan agar suara korban lebih terwakili.
Isu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan serta anak masih menjadi persoalan serius di masyarakat. Dari materi yang kita pelajari di Latihan Khusus KOHATI (LKK) mengajarkan bahwa perempuan memiliki posisi sentral dalam pembangunan bangsa dan harus mendapatkan perlindungan penuh atas harkat dan martabatnya. Sebagai kader HMI, khususnya KOHATI tidak bisa hanya menjadi penonton. Materi LKK (Latihan Khusus Kohati) ini menegaskan pentingnya KOHATI dalam melakukan gerakan sosial, advokasi, serta penguatan kapasitas diri perempuan. Dari nilai dasar itu, KOHATI dapat mengambil peran strategis untuk menjadi garda terdepan dalam melawan kekerasan dan pelecehan seksual.
Opini publik ini bukan hanya menjadi bahan diskusi semata, melainkan juga peluang bagi KOHATI terkhusus nya saya untuk membuktikan perannya sebagai agen perubahan. Bagi Ririn Dwi Ramadhani dengan mengedukasi masyarakat, menciptakan ruang aman bagi perempuan, hingga mengawal kebijakan yang berpihak pada korban, KOHATI juga dapat menunjukkan bahwa ia hadir bukan hanya untuk kadernya, tetapi juga untuk kepentingan perempuan Indonesia secara luas.
Penulis: Ririn Dwi Ramadhani
Komisariat: UNTAG 45 Samarinda
Cabang: Samarinda